BY. NANI CAHYANI
Benteng Keraton Buton |
Saya pernah
menghadiri salah satu seminar yang diadakan di gedung IPTEK Unhas, seminar
sehari ini mengangkat topik budaya lokal, banyak hal hal menarik diangkat oleh
pembicara tentang pentingnya melestarikan budaya, semisal contoh budaya
memiliki kelas karena budaya adalah tentang kekhasan, peran segala lini untuk
mengkaji, memilah dan mentransformasikan nilai budaya dalam konteks kekinian
serta melihat kekhasan sebagai asset. Keunikan budaya tiap daerah sangat
menarik untuk diexplore dalam lingkup yang berbeda dan dalam kemasan yang apik
menarik serta menghibur. Menurut Edward Tylor, keseluruhan yang kompleks yang
didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat dan kesenian
adalah bagian keseluruhan yang tak terpisahkan dari kebudayaan.
Salah satu hal yang menarik dalam dalam konteks kekinian adalah
mengangkat tema budaya dalam film dan memperkenalkan keindahan satu daerah pada
public melalui film. Film, melibatkan banyak unsur seperti estetika, morality,
entertaining, imaginative dan creativity. Dalam tulisan “Nuansa Budaya Dalam
Film Indonesia” yang di tulis oleh drs. Ariwibowo di sebutkan bahwa film
Indonesia selalu mengutub dalam 2 hal yaitu film sebagai industry seni yang
melayani pasar atau film sebagai industry budaya atau bermakna apresiasi seni
dan budaya. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks keterikatan
budaya dan film merupakan hubungan yang bersinergis dengan memandang budaya
sebagai satu paket keragaman kekhasan jika ia bisa mendatangkan benefit maka
budaya dan film sukses untuk menjadi orientasi kecenderungan menjadikannya aset
berharga atau sebaliknya jika ia dapat menjadi senjata ampuh mempromosikan
keunikan, maka dapat dikatakan bahwa film adalah representative budaya
masyarakat massive yang modern.
Film yang mengangkat tema budaya diantaranya tenggelamnya kapal van der
wijk dan yang paling terbaru adalah film Barakati yang distutradarai oleh
sutradara handal Monty tiwa, saya pernah secara langsung menyaksikan proses
pembuatan film Barakati yang akan ditayangkan serentak pada bulan mei diseluruh
cinema di Indonesia, menurut penulis film Barakati cukup mampu menghentak
kesadaran masyarakat lokal dipulau Buton dikarenakan film ini melibatkan
langsung pemain lokal yang proses perekrutan pemain jelaslah tidak mudah
melalui tahap audisi, dan seluruh perangkat dan lembaga adat terlibat dalam
proses pembuatan film Barakati. Saya sehari menyaksikan betapa proses pembuatan
film tidaklah mudah ia butuh kesabaran dan kerja keras seluruh crew, mereka
bukanlah pemain yang nampak dilayar kaca tapi yang lebih berada pada belakang
layar namun peranan mereka adalah nyawa sebuah film.
Myself and Fedi Nuril |
Menilik lebih lanjut kata Barakati berasal dari bahasa daerah wolio yang berarti “diberkati” seingat penulis dari tutur seorang kawan film Barakati adalah film yang mengangkat sejarah keterkaitan kerajaan Buton dan kerajaan Majapahit, berawal dari keinginantahuan seorang mahasiswa Abdul Manan (Fedi Nuril) yang mencari keterkaitan antara dua kerajaan, hingga dalam perjalanannya kedaerah Buton, ia dipertemukan dengan Wa Ambe (Acha Spetriasa). Pengambilan gambar difilm ini dibeberapa tempat dipulau Buton diantaranya Benteng Keraton Buton, Gunung Teletubbies, Pantai Katembe, Wakangka, desa Rongi dan beberapa daerah yang lainnya. Film Barakati sukses membangunkan keterlupaan sesaat masyarakat didaerah Buton untuk lebih mencintai budaya dan mencintai pulau Buton yang kaya akan warisan budaya yang unik, memenuhi rasa dahaga akan kejayaan masa lampau yang bisa serta merta terulang dengan memanfaatkan media hiburan.
Myself and Kak Nuni Nuchman |
Film Barakati dalam perspektif budaya adalah
tentang bagaimana ia menyentil alam bawah sadar kita semua untuk mencintai
budaya, mencintai film Indonesia berarti memberikan apresiasi tertinggi pada semua
yang bekerja untuk keberlanjutan seni dan budaya. Apapun itu kita mesti bangga
dengan identitas daerah karena itulah kekhasan yang hanya dimiliki oleh kita.
Saya teringat tutur Kak Nuni Nuchman (crew film untuk casting pemain), masih
menurutnya keramah tamahan penduduk lokal setempat seperti mengajaknya untuk
mengunjungi pulau Buton kembali. Semoga film Barakati memberi pencerahan
tentang mencintai budaya tak terbatas pada kata mencintai saja tapi sebisa
mungkin melakukan gerak nyata melestarikan apa yang menjadi tutur masa lampau
tentang kejayaan, harga diri, kebanggaan hingga terefleksikan dalam kemestian
mengulanginya. Dengan budaya sesungguhnya kita sedang melewati sekat sekat
perbedaan berada pada peradaban yang elegant; mewariskan keabadian pada pengetahuan.
Langit Makassar, 5 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar