Senin, 04 Juli 2011

PERBEDAAN BUDAYA BERPIKIR

BY. NANI CAHYANI

Saat mencoba menuangkan semua apa yang kita pikirkan teruslah cepat mengambil tindakan mewujudkannya dalam bentuk tulisan yang Alhamdulillah jika terbaca oleh mereka yang punya karisma berpikir yang elegant dan intelek. Perbedaan pandangan, ideology, keyakinan bukanlah perbedaan jika hal itu tidak di anggap sebagai perbedaan yang hakiki, semua perbedaan dan di pandang tidak senonoh adalah hasil dari pelabelan kita sendiri yang melabelnya berdasarkan pikiran kita masing-masing. Terlahir dan berkembang dalam budaya ketimuran adalah anugerah berharga dalam hidupku untuk mewarnainya dengan dimensi pelangi yang berbeda warna tapi terlihat cantik dan memukau karena perbedaan dimensi warnanya…. Yaaaaa…. Dimensi selalu saja tentang dimensi …, dan budaya berpikir kita yang coba sedikit kukupas.
(Menurut Y.B Mangunwijaya, seorang budayawan yang terkenal berpendapat) dimensi budaya secara total komprehensif tidak boleh hanya, seperti biasanya terjadi, dilihat dari segi art saja (tourism), tetapi menyangkut seluruh totalitas overall daya pikir dan cita rasa, pengolahan/pelembagaan hidup sehari-hari, serta pemberian makna serta simbolisasinya. Karakter dasar yang membuat seorang manusia menjadi manusia, yakni daya pikir dan daya cita rasa-tanpa mengklaim diri menghibahkan diri pada animal rationale dan kemewahan belaka. Walau harus di akui dan tanpa memunafikkan unsur tersebut sangatlah significant dalam pergulatan hidup manusia.
Bangsa kita yang mayoritasnya masih berpijak dalam budaya agraris tradisional dengan budaya lisannya yang masih sangat meluas, apalagi merajalelanya dunia takhyul yang aneh aneh, memanglah masih harus lebih serius dibina dan diberi iklim agar belajar berfikir eksploratif analitis, namun dalam kerangka mengarah ke kreatifitas sintentis. Dan ini hanya mungkin lewat pengakuan akan perlunya fungsi segala bentuk antithesis, tanpa harus berprinsip konflik-selaku syarat mutlak keniscayaan praktis. Itu bila kita bertekad untuk tinggal landas dengan pengandaian harus (apa betul harus untuk semua warga masyarakat?) menuju ke budaya industri dengan konsekuensinya memeluk science dan technology. Salah satu wahana yang penting untuk mendidik generasi baru untuk memperoleh suatu keterampilan dan mental berpikir analitis (demi hasil hasil sintesis yang berguna)
Kita harus mendidik agar anak didik dapat berpikir untuk eksploratif dan kreatif. Situasi belajar yang gaya penghafalan tanpa pengertian yang memadai sangatlah jadul diterapkan diera ini ketika ruang dan waktu tidak dapat membatasi culture exchange, way of thinking, dan customs, berpikir kritis bukanlah hal yang tabu selagi tidak terlepas pada koridor/track yang sebenarnya. Bukanlah mendidik jika ditatar, dibekuk agar menjadi penurut dalam konteks yang tidak relevan dengan perkembangan global.
Masalah sosial budaya yang sangat rawan dan rupa-rupanya berada titik nadir adalah dunia pendidikan kita. Ini kita catat tanpa menyalahkan pelaku pelaku pendidiknya dan pengajarnya, khususnya para guru, karena mereka hanya menjalankan politik pendidikan dan pengajaran. Mereka bukan pengambil keputusan dan pengatur siasat dasarnya. Ketika beberapa media massa nasional headlines newsnya membahas “MAHALNYA KEJUJURAN”. Saya mencoba menghubungkan dengan buku yang pernah saya baca title: Barrack Obama dalam bukunya “Dreams from my father” mengutip pesan singkat DR. Obama (Ayah Barrack Obama) pada Barrack Obama ‘if you want to grow into a human being you are going to need some values” yaa values yang menurut analisa saya berarti nilai-nilai dalam konteks makro adalah pemahaman tentang kedisiplinan, keteguhan, prinsip hidup, dan nilai nilai lainnya.
Dunia pendidikan kita yang mudah-mudahan tidak carut marut. sungguh suatu hal yang sangat menyedihkan ketika hasil UAN tidak murni dibeberapa sekolah, mengiris dada teramat sangat ketika menolong adalah halal karena berbuat amal kebaikan, tapi jika konteks “menolong” dalam hal yang tidak sewajarnya. Sekali lagi Budaya berpikir kita mungkin harus dikikis terlebih dahulu. Karena jika pondasi kita tidak kokoh pastilah akan roboh. Budaya berpikir kita, argumentasi, serta sistematika logika kita adalah variable penentu betapa kecerdasan tidak tetek bengek tentang nilai, tapi pemahaman yang logis arif bikjaksanalah yang dapat merubah cara dan budaya berpikir, tetaplah berpegang pada identitas diri karena cara berpikir adalah cakrawala luas yang menerangi hati, mata batin, dalam keterpukauan pengetahuan dan mendirect alam bawah sadar kita dan menerapkannya.. mmmmm ariflah wahai bangsaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar