BY. NANI CAHYANI
Menulis membahagiakan hati karena
menulis menuangkan apa yang ada dalam benak kita. Saat ini menulis menjadi hal
yang biasa setiap orang bisa menulis dimana saja dan kapan saja dengan
menggunakkan media sosial. Tulisan tulisan yang ada dalam status dimedia sosial
bisa dengan mudah disingkat semisal contoh “tidak
menjadi tdk, saya menjadi sy dan sebagainya”, fenomena menyingkat kata
seperti ini menjadi hal yang biasa dimedia sosial dimana kata katapun ditulis
dengan instant dengan maksud mempersingkatnya. Rasanya kemahiran kita mengukir
rasa dalam bentuk tulisan semakin berkurang mengapa demikian karena kita
terbiasa dan membiasakan diri padaa kebiasaan yang seharusnya tidak dilakukan
karena tulisan merekam kita dan bercerita pada generasi selanjutnya, terlepas
dari keinginan untuk merawat atau merevisi hendaklah kita selalu mempertimbangkan tidak merubah aturan hanya
karena ingin menjadi fleksibel dan instant.
Diera 60 an atau 70 an gaya muda mudi
dalam menyatakan perasaan mungkin lewat surat yang berisi tentang perasaan yang
dirasakan. Penulis mengingat novel karya Buya Hamka “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wick” dalam novelnya digambarkan bagaimana Zainuddin memoles perasaan hati
dalam bentuk sastra indah yang membuat hati Nurhayati merasa rindu pada
Zainuddin. Dalam Novel Buya Hamka terlihat jelas betapa sastra haruslah merekat
kita untuk menulis, mencintai tulisan dan
menempatkannya dalam bingkai tanpa merusaknya dengan sadar seperti menyingkat
kata, rasanya kita mengoyak hak asasi
kata untuk ditulis secara utuh.
Perkembangan bahasa tidak terlepas
dari sejarah tulisan, awal mulanya penemuan tulisan berada di dua tempat yang
berbeda Mesopotamia sekitar 3200 SM dan mesoamerika sekitar 600 SM. Selanjutnya
menjadi perdebatan berkembangnya tulisan dimesir sekitar 3200 SM namun sebagian
beranggapan perkembangan tulisan terjadi di Cina sekitar 1300 SM (Source:
Wikipedia). Tulisan mengalami proses perubahan dengan variasi berbeda beda, yang terkini adalah tulisan
modern dengan menggunakkan pena, komputer, mesin cetak atau telepon genggam. Menulis
dengan menekan tombol menjadi sangat popular dikarenakan efisien dan handy. Namun semakin dipermudah berarti
dimanjakan, dimanjakan bisa bermakna
racun karena keinginan untuk mengeksplor
diri dengan latihan menulis menggunakkan tangan menjadi sangat jarang. Bandingkan
tulisan generasi diera 80 an ataau 90 an
kita masih bisa mendapatkan tulisan indah bersambung namun diera 2000an mungkin
tulisan bersambung indah sedikit demi sedikit jumlahnya menyusut. Tidak boleh dipungkiri
andil kita ada dalam fenomena ini; tulisan tidak mengindahkan keaslian,
menyingkat kata, menjiplak ide dan membully menjadi hal yang biasa hingga menyampingkan kata kata
menjadi bahasa yang cuek dan tidak mengidahkan ruang rasa.
Dalam kaitannya tidak mengidahkan
ruang rasa adalah penggunaan media sosial yang tidak cerdas. Salah satu
penuturan kawan yang berasal dari Autsralia, dinegaranya mulai menerapkan
pelajaran etika dalam menggunakkan digital konsep pemikiran ini wajar kiranya
diterapkan mengingat kebebasan berekspresi didunia maya terkadang tidak
terkontrol. Umpatan umpatan menyindir menjadi lumrah konsep pembelajaran etika
menggunakan digital atau media sosial menjadi keharusan karena kita butuh
mendidik generasi ini membedakan bagaimana berekspresi didunia nyata dan dunia
maya, batas keduanya berbeda mampu membedakan keduanya sangat penting karena
dengan begitu kita tidak anti sosial dan tidak ego. Kita mesti bersepakat bahwa
tulisan, bahasa, digital dan etika akan terus mewarnai kehidupan generasi
modern namun tetaplah berpijak pada karakter dan identitas diri, tidak merubah
keaslian karena keindahan harus terabadikan dalam tulisan, bukankah pengetahuan tidak boleh menjadikan kita bebal, apapun itu
gerak tutur kita haruslah selaras dengan kehendak pencipta yang selalu adil dan
yang terus menyayangi tanpa batas.
“ketika merindukan tulisan”
BauBau, 17 Februari 2017