Minggu, 10 November 2013

IRONI HATI PADA MEGAHNYA KOTA

-->
By. Nani Cahyani
-->
Menentukan judul untuk cerita ini tidaklah mudah, Ironi hati  pada megah nya kota. sebut saja nama mereka, Iwa dan Dewi mungkin tak bermakna apa-apa namun pemikiranku mereka berdua bermakna kesederhanaan, kebahagiaan dan ironi hati pada megahnya kota. Iwa dan Dewi sedikit dari anak-anak yang mencoba menjalani hidup di kota besar dengan membagi waktu antara sekolah dan kerja.



Awal percakapanku dengan Dewi dan Iwa adalah ketika lembut jemari mungil menyentuh tanganku sambil tersenyum menawarkan jasa untuk mengangkat belanjaanku, saya pun menoleh tepat disebelah kananku diantara kerumunan orang-orang yang berbelanja. Wajah mungil Dewi menyeruak diantara mereka, hati kecilku tersentuh awalnya menolak tawarannya namun sinar mata permohonannya membuatku mengurungkan niatku untuk tak mengidahkan tawarannya. Walau dalam kenyataannya saya lebih banyak mengangkat sendiri belanjaanku hanya menyisihkan sedikit ke kantong plastik yang Dewi pegang dengan beberapa sayuran hijau biar tak terlalu berat buatnya mengangkat belanjaanku.

 
Dewi mengikuti langkahku saat menyusuri pasar tradisional hingga, ia berjumpa dengan beberapa kawannya yang berprofesi sama dengannya (hasil bincang bincangku dengan Iwa, anak seperti mereka biasa disebut langganan angkat), ditinjau dari segi bahasanya mungkin tidak memenuhi kaidah bahasa yang benar tapi apapun panggilan mereka tak penting, yang terpenting dari mereka adalah cerita mereka padaku saat berjalan menyusuri pasar dipagi hari itu. Saya menikmati percakapan ringan dengan mereka. Saya pun ingin sekali tahu, apa mereka masih menempuh pendidikan. Dewi dan Iwa berlomba menjawab pertanyaaanku, mungkin Karena Dewi lebih lincah maka Dewi menjawab pertanyaanku. Iwa pun terlihat mengalah dan memberi kesempatan pada Dewi “Iya Kak, saya masih sekolah dan kalau saya ada PR pasti saya kerjakan”. Lanjutku lagi, “mengapa kerja seperti ini tidak belajar saja dirumah?”. Tak ada satupun yang menjwab pertanyaanku mereka hanya memberi senyuman lugu padaku senyuman anak kecil yang tulus, mereka mungkin belajar untuk paham apa maksud pertanyaanku.    
Tiba-tiba benakku berfikir dalam keterbatasan waktuku berada di kota ini begitu banyak hal-hal yang membuatku berfikir betapa terkadang hidup tak adil menempatkan seseorang dengan posisi kemestian mereka seperti itu. Selarik pictures pusat-pusat perbelanjaan megah dengan pengunjung yang berkulit bersih menandakan tingkat ekonomi yang mapan ataupun mereka yang berseliweran di pusat-pusat perbelanjaan dengan kemerdekaan finansial menenteng barang-barang mewah, ironinya hidup ketika gambar tersebut berganti oleh gambar nyata dihadapanku saat ini.
Canda tawa Dewi, Iwa dan kawan-kawannya disampingku seperti nyanyian kerinduan mereka akan hidup yang semestinya adalah belajar buat mereka, semestinya berada dalam pelukan ibu sekedar mendengar petuah-petuah dan mendengarkan ibu bercerita dongeng dalam istana hati rumah untuk jiwa mereka dan Semestinya hidup buat mereka berlari-lari bebas dialam lepas yang menghijau lantas membiarkan air hujan membasahi wajah teduh mereka. Ah… setting fikiranku terlalu berlebihan. Saya hanya berbicara dengan diri sendiri tak apalah pemikiran menjadi cerdas tapi pemaknaan dari cerdas sesungguhnya adalah kecerdasan hati untuk peka pada sekeliling dengan cara sekecil apapun yang kita bisa lakukan. Nurani dan rasional dua sisi yang bertentangan dalam benakku ketika bersama Dewi dan Iwa, bahwa konsep hidup adalah memaknainya. Salah dan benar  adalah relatif, kita tak dapat mengukurnya. Mungkin perbedaan adalah cara Tuhan berbicara dengan kita, atau entahlah…???.
Langit Makassar, 10 November 2012
   


-->
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar