By. Nani Cahyani
-->
Menentukan judul untuk cerita ini tidaklah mudah, Ironi hati pada megah nya kota. sebut saja nama mereka, Iwa dan Dewi mungkin tak
bermakna apa-apa namun pemikiranku mereka berdua bermakna kesederhanaan,
kebahagiaan dan ironi hati pada megahnya kota. Iwa dan Dewi sedikit dari
anak-anak yang mencoba menjalani hidup di kota besar dengan membagi waktu
antara sekolah dan kerja.
Awal
percakapanku dengan Dewi dan Iwa adalah ketika lembut jemari mungil menyentuh
tanganku sambil tersenyum menawarkan jasa untuk mengangkat belanjaanku, saya
pun menoleh tepat disebelah kananku diantara kerumunan orang-orang yang
berbelanja. Wajah mungil Dewi menyeruak diantara mereka, hati kecilku tersentuh
awalnya menolak tawarannya namun sinar mata permohonannya membuatku
mengurungkan niatku untuk tak mengidahkan tawarannya. Walau dalam kenyataannya
saya lebih banyak mengangkat sendiri belanjaanku hanya menyisihkan sedikit ke
kantong plastik yang Dewi pegang dengan beberapa sayuran hijau biar tak terlalu
berat buatnya mengangkat belanjaanku.
Dewi
mengikuti langkahku saat menyusuri pasar tradisional hingga, ia berjumpa dengan
beberapa kawannya yang berprofesi sama dengannya (hasil bincang bincangku
dengan Iwa, anak seperti mereka biasa disebut langganan angkat), ditinjau dari
segi bahasanya mungkin tidak memenuhi kaidah bahasa yang benar tapi apapun
panggilan mereka tak penting, yang terpenting dari mereka adalah cerita mereka
padaku saat berjalan menyusuri pasar dipagi hari itu. Saya menikmati percakapan
ringan dengan mereka. Saya pun ingin sekali tahu, apa mereka masih menempuh
pendidikan. Dewi dan Iwa berlomba menjawab pertanyaaanku, mungkin Karena Dewi
lebih lincah maka Dewi menjawab pertanyaanku. Iwa pun terlihat mengalah dan
memberi kesempatan pada Dewi “Iya Kak,
saya masih sekolah dan kalau saya ada PR pasti saya kerjakan”. Lanjutku
lagi, “mengapa kerja seperti ini tidak
belajar saja dirumah?”. Tak ada satupun yang menjwab pertanyaanku mereka
hanya memberi senyuman lugu padaku senyuman anak kecil yang tulus, mereka
mungkin belajar untuk paham apa maksud pertanyaanku.
Tiba-tiba
benakku berfikir dalam keterbatasan waktuku berada di kota ini begitu banyak
hal-hal yang membuatku berfikir betapa terkadang hidup tak adil menempatkan
seseorang dengan posisi kemestian mereka seperti itu. Selarik pictures
pusat-pusat perbelanjaan megah dengan pengunjung yang berkulit bersih
menandakan tingkat ekonomi yang mapan ataupun mereka yang berseliweran di
pusat-pusat perbelanjaan dengan kemerdekaan finansial menenteng barang-barang
mewah, ironinya hidup ketika gambar tersebut berganti oleh gambar nyata dihadapanku
saat ini.
Canda tawa Dewi, Iwa dan
kawan-kawannya disampingku seperti nyanyian kerinduan mereka akan hidup yang
semestinya adalah belajar buat mereka, semestinya berada dalam pelukan ibu
sekedar mendengar petuah-petuah dan mendengarkan ibu bercerita dongeng dalam
istana hati rumah untuk jiwa mereka dan Semestinya hidup buat mereka
berlari-lari bebas dialam lepas yang menghijau lantas membiarkan air hujan
membasahi wajah teduh mereka. Ah… setting fikiranku terlalu berlebihan. Saya
hanya berbicara dengan diri sendiri tak apalah pemikiran menjadi cerdas tapi
pemaknaan dari cerdas sesungguhnya adalah kecerdasan hati untuk peka pada
sekeliling dengan cara sekecil apapun yang kita bisa lakukan. Nurani dan
rasional dua sisi yang bertentangan dalam benakku ketika bersama Dewi dan Iwa,
bahwa konsep hidup adalah memaknainya. Salah dan benar adalah relatif, kita tak dapat mengukurnya.
Mungkin perbedaan adalah cara Tuhan berbicara dengan kita, atau entahlah…???.
Langit
Makassar, 10 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar