Oleh : Nani Cahyani
Penyerbuan kampus Universitas Haluoleo Kendari, oleh Polisi yang baru-baru ini menyedot perhatian publik, dan Peristiwa 27 Mei 2008, di Kampus Universitas Hasanuddin, Tamalanrea Makassar kala mahasiswa berdemo menentang kenaikan harga BBM. Mempertontonkan dua golongan anak bangsa yang sama-sama tertindas; polisi dan mahasiswa, saling menggertak dan melempar batu. Perilaku melempar batu diduga hasil dari budaya primitif yang kerap jadi rujukan pertama, ketika jalan-jalan moral tak menarik lagi. Polisi sungguh tak secuil, rindu untuk melukai mahasiswa, demikian pula mahasiswa, tak ingin mengotori tangan berurusan dengan polisi. Bukan kali ini saja, dua golongan tadi berseteru. Deret peristiwa pergolakan di Indonesia belum juga bisa memutus tradisi bentrok di antara mereka. Lalu model solusi apa yang kiranya jadi pereda nyeri bagi kepedihan sosial yang setiap saat dapat menerkam batas-batas kesabaran semua pihak. Mahasiswa dan polisi; dua elemen bangsa yang belum bisa terlepas dari perangkap-perangkap palsu yang diklaim sepihak sebagai ciri khas masing-masing.
Mahasiswa di dalam kampus di Indonesia mengalami depresi massal, mereka mengalami semacam split personality, serupa inkonsistensi kejiwaan yang tak dapat menentukan diri, seperti apa peranan, tanggung jawab dan hal lain yang tumpang tindih. Mahasiswa belum utuh mendapat kesempatan mencicipi berkah pengetahuan manusia, kampus kini terjebak pada rutinitas birokrasi akademik semu yang nihil makna, kampus tak kunjung sanggup untuk menjelma sebagai tempat benih luhur pengetahuan dirangsang untuk bertumbuh, kemunduran (kalau tak ingin disebut sebagai kehancuran) institusi perguruan tinggi kita. Saban hari ribuan sarjana, ratusan master dan berjubel doktor dan profesor dicetak kampus-kampus kita, namun sekedar berhenti pada ritual akademika belaka, doktor dan professor kita tak layak disebut ilmuwan; itu jika tafsir atas ilmuwan, adalah manusia pilihan yang mendedikasikan dirinya bagi kemajuan ilmu, peradaban dan kemanusiaan. Gelar akademik hanya menambah beban saja, membuat kita jadi pongah dan menjadi bukti hidup, betapa celakanya sistem pendidikan Republik ini
Polisi apalagi, terkadang kita begitu takjub dengan eksistensi polisi, yang idealnya bergerak demi tegaknya wibawa hukum, namun praksis yang kerap berlangsung di masyarakat, polisi jadi bagian dari sejumlah penyelewengan wewenang sebagai aparat. Yang untuk hal tertentu bukan menjadi solusi atas problem bangsa, tetapi justru menelusup masuk sebagai bagian dari problem, semisal peran polisi dalam masyarakat madani yang tak dimengerti polisi kita, menariknya sejumlah pelanggaran yang dilakukan polisi baik sengaja atau tidak, dinisbatkan bukan semata kesalahan polisi saja, tapi dituding berkelindan dengan persoalan belum sejahteranya polisi kita, walau ternyata dengan argumentasi serupa, kita dapat membaliknya, bahwa inilah bukti kalau polisi kita tak memahami kesulitan bangsa dan penderitaan rakyat. Memang jika pembandingnya adalah gaya hidup ala pengusaha atau polisi di negara-negara maju, jelas polisi kita sangatlah miskin, miskin sekali malah. Tapi kan, analisa kasus tak boleh bercerai dari konteks sosial/ ruang waktu; dimana polisi itu hidup, bangsa kita kini, masih berjuang agar tak bubar lantaran tak sanggup memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya sendiri seperti makan dan berobat. Polisi sangat durhaka kalau tak menyadari kalau faktanya mereka termasuk segelintir anak bangsa yang lumayan beruntung dengan gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya dari Negara. Perbanyaklah bersyukur wahai polisi kita.
Polisi kita dan juga mahasiswa kita, ialah bagian dari anak bangsa yang sama-sama terjepit dengan ekonomi bangsa yang sekarat. BBM naik, maka yang susah tentu polisi dan mahasiswa juga. Mungkin perlu diangankan suatu ketika polisi dan mahsiswa kita serempak bersama dalam satu barisan menentang kebijakan apapun yang berpotensi menciderai amanat konstitusi seperti memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar