Rabu, 01 Agustus 2012

PELABUHAN DAN GERAK KEMBALI

Keindahan Buton sebagai pulau cantik selalu menarik hasrat berkunjung para pelancong, mereka yang baru pertama kali ke pulau ini akan kagum oleh keindahan alam yang asli mempesona. Bukti kejayaan masa lampau Kesultanan Buton, masih terlihat dari peninggalan situs sejarah seperti Benteng Keraton Buton. Hanya perlu dikaji ulang apakah tidak sebaiknya bentuk asli dari benteng Keraton sedapat mungkin tetap dipertahankan. Penambahan (taman, bangunan, jalan, tegel atau apapun) yang potensial akan menjauhkan daya persepsi pengunjung terhadap bentuk awal benteng tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu kegiatan renovasi yang potensial menambah atau menghilangkan bentuk terdahulu seharusnya perlu melibatkan tim khusus dari berbagai disiplin ilmu, walaupun misalnya sekadar ingin menambahkan jalan setapak sepanjang setengah meter, tidak boleh dilakukan tanpa pertimbangan dan kajian mendalam. Generasi sekarang bertanggung jawab menjaga warisan masa lalu. Dalam pemahaman penulis, tanpa argumentasi yang logis dan rasional maka situs sejarah jangan dirubah dan ditambahkan ornamen apapun sebab yang paling bernilai dari situs sejarah adalah keasliannya,
semakin serupa atau mendekati wujud pertamanya maka kian bernilailah peninggalan tersebut. Sebagai contoh, bendera pusaka Indonesia yang dijahit oleh Fatmawati (istri Bung Karno) sudah lumayan tua, warna merah maupun putihnya sudah mulai pudar, namun bukan karena itu maka kita harus menambahkan zat pewarna untuk mengembalikan warna merah dan putihnya, justru ketika masih dalam bentuk aslinya yang seperti itu maka pamor dan nilai sejarahnya kian terasa. Penulis pernah membaca artikel seorang sahabat yang menempuh pendidikan di Ohio University Amerika Serikat, bahwa di negeri tersebut, universitas-universitas ternama seperti Harvard University sama sekali tidak merubah arsitektur gerbang utama universitas, bentuk lama tetap dipertahankan sebab disitulah nilai lebihnya, mereka tak tergoda untuk merubah nilai historis yang hadir dari keaslian peninggalan bersejarah. Biarlah sebagian dari masa lalu tetap seperti bentuk aslinya sebagai pengingat dan tempat belajar bagi generasi yang lebih baru. Boleh jadi semangat belajar dari masa lalu itu yang memenuhi benak saat para pengunjung yang pertama kali memasuki kota Baubau, disambut dengan lambaian patung yang mengangkat tangan, penuh kehangatan menebarkan semangat warga kota yang ramah menerima semua yang datang dengan tangan terbuka. Jika sekiranya pelabuhan Murhum Baubau mampu bertutur seumpama manusia, tentu ia akan berkisah panjang tentang satu peranan penting wilayah ini sebagai pintu masuk dan keluar arus manusia yang terus berganti, mengalir tak putus-putusnya dari segenap penjuru mata angin, ini karena secara alamiah letak Baubau Buton yang berada di tengah Nusantara, berdampingan sejajar dengan Makassar. Pengelolaan Benteng Keraton tentu berbeda dengan pelabuhan. Benteng Keraton harus dipertahankan keasliannya sementara Pelabuhan mendesak untuk terus dimodernkan dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan kota. Getar itu terasa kala mengangkat topik pelabuhan Murhum sebagai pembuka dalam membaca percik Ramadhan di Baubau. Sejarawan bisa berdebat, tentang sejak kapan sebetulnya tradisi menyambangi/ berkunjung ke Pelabuhan setelah sahur berlangsung di Kota Baubau, apakah itu terjadi setelah bangunan fisik pelabuhan telah ada atau sudah berlangsung sejak masuknya Islam di tanah Buton? Apapun kesimpulannya, menarik bila kita kaitkan dengan pandangan peneliti asal Perancis Christian Pelras bahwa orang Buton adalah satu dari suku di Indonesia yang memiliki tradisi bahari yang kental, pelaut ulung dari masa ke masa (selain Bugis, Mandar, Bajo dan Madura). Bagi orang Buton, laut adalah tak terpisahkan dengan kehidupan keseharian, sebagai sumber kehidupan, sumber belajar menajamkan akal dan sarana untuk teduhkan hati. Keberadaan Palagimata, Bukit Wantiro, Bukit Kolese, Simpang Lima dan masih banyak lagi tempat strategis dengan pemandangan indah, disetujui atau tidak, semuanya bersenyawa dalam menyajikan satu hal; jadikan hamparan laut sebagai “penyedap rasa” utama dan pertama. Laut bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan budaya kita. Bagi sebagian besar anak-anak di Baubau, berkunjung ke pelabuhan telah menjadi bagian yang membentuk kenangan masa kecil yang mewarnai pembentukan pola pikir. Merajut kesadaran paling indah di alam bawah sadar, betapa ada keterikatan simbolik antara pelabuhan, tepi pantai dan laut dalam perbandingan tahap perjalanan manusia sejak lahir, bertumbuh dewasa dan seterusnya dengan hadirnya satu kerinduan pokok bahwa manusia senantiasa terdorong untuk menjelajahi sesuatu yang luas dan mendebarkan hati. Pelabuhan dan laut adalah perlambang sederhana dari konsep perjalanan dan penantian. Bahwa laut secara fisik memang ada terbentang di depan mata kita, namun masih ada yang lebih luas darinya, yakni laut di dalam diri, dalam hati dan pikiran kita. Ini sebagai pertanda, bahwa ketika menjumpai pengalaman dan mungkin juga kesadaran baru, senantiasa tersedia ‘pelabuhan’ untuk perhentian sejenak mengoreksi diri, yang dalam bahasa Ebiet G Ade “..ikuti saja iramanya, isi dengan rasa..”. Ramadhan ialah bukti betapa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kita diberi kesempatan untuk memperbanyak tabungan kebajikan dengan berlomba menebalkan ketakwaan. Ramadhan adalah bulan istimewa, tempat kita melakukan penggemblengan diri menjadi manusia baru yang lebih baik dari kemarin. Kita banyak belajar dari para Ulama dan Tetua kita di tanah Buton tentang hikmah dan keutamaan bulan suci ini. Apalagi sekarang dengan kemajuan teknologi, kesempatan belajar kian terbuka dan nyaris tak berbatas. Satu yang juga sulit dipisahkan dari Ramadhan, berkesan bagi mereka yang berada di luar Baubau atau di luar pulau Buton yakni momen pulang kampung sebagai saat yang dinanti-nanti, kiranya terdapat kemiripan dengan kerinduan anak-anak yang mengunjungi pelabuhan Murhum guna mencari kenyamanan, ketenangan dan kebahagiaan, walau tentu pulang kampung getarnya lebih berlipat. Namun satu yang sama, adanya kerinduan purba dalam diri setiap manusia untuk selalu mencari ketenangan, misalnya dengan selalu teringat pada tanah kelahiran, semakin jauh berlayar maka semakin kuat desakan kangen pada rumah sendiri, rasa rindu pada orang tua, sanak keluarga dan teman yang punya andil dan keterkaitan dengan kehadiran kita di dunia, Cak Nur (Dialog Ramadhan Bersama Cak Nur) menggambarkan itu dengan indah dalam kalimat : “…gerak mudik pada waktu lebaran, atau Idul Fitri, berkisar pada dorongan bahwa kita ingin kembali ke asal. Kalau anak selalu ingin cari ibunya, orang selalu ingin kembali ke kampung, merindukan kampung. Ada dalam diri kita keinginan untuk melihat kampung halaman (yang disebut mudik itu). Ini adalah dorongan untuk kembali ke asal. Nah, Idul Fitri juga wadah daripada dorongan kembali ke asal itu. Dan nanti secara asasi kembali ke asal itu berarti kembali kepada Tuhan. Sebab asal dari seluruh muasal itu adalah Allah SWT. Karena itu kita semua sebetulnya mempunyai dorongan, tidak saja psikologis, bahkan lebih mendalam yaitu spiritual, untuk kembali lagi ke Tuhan. Maka dari itu banyak sekali ayat Al-Quran yang diakhiri dengan peringatan bahwa Tuhan itu “tempat kembali” Wallahu Alam Bishawab….. BY. NANI CAHYANI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar