Senin, 06 Agustus 2012

JALAN SUNYI PARA PEMIMPIN


JALAN SUNYI PARA PEMIMPIN Oleh: Nani Cahyani Selokan di sisi jalan tersumbat, airnya meluap genangi aspal. Tak ada yang istimewa, sebuah mobil butut terlihat menepi, sang pengendara bergegas turun dan membersihkan selokan hingga alirannya lancar. Setelah beres, mobil tersebut melaju meninggalkan lokasi. Jika kita sedang berada di tempat itu, mungkin menduga bahwa si pengendara adalah petugas kebersihan atau paling tidak, warga sekitar. Begitulah dia, bila sedang berkendara dan melihat selokan mampet, langsung turun tangan. Betul, karena jabatannya, dia bertanggung jawab atas kebersihan, namun kurang pas bila kita menyebutnya sebagai petugas kebersihan, walau dia sendiri kerap menyebut dirinya sebagai pelayan masyarakat. Lelaki tersebut ialah walikota Teheran, Mahmoud Ahmadinejad. Kisah ini
hanya satu dari sekian banyak cerita seputar sosok pejabat unik yang sering tampil berjaket kumal dan lantang menyuarakan perlawanan terhadap arogansi negara barat. Di luar dugaan publik Iran dan juga sempat tidak diperhitungkan oleh media, ketika dalam pemilihan presiden, Ahmadinejad ikut mencalonkan diri dan berhasil mengalahkan kandidat lain yang konon punya dana besar dengan pendukung bertumpuk. Jejak rekam yang bersih dan kerja nyata tanpa ‘rekayasa’, memahat nama Ahmadinejad di hati rakyat Iran. Kesederhanaan Ahmadinejad telah membuat rakyat Iran tidak bergeser oleh tawaran apapun. Dia datang dengan ketulusan, inilah hidupku, inilah keluargaku yang bersahaja. Jika anda berminat, aku punya konsep dan program kerja bila nanti terpilih sebagai presiden. Mulut rakyat adalah senjata keajaiban. Tak ada alat sensor, mekanisme atau pasukan bersenjata yang sanggup menghentikan ceritera dari mulut ke mulut ihwal satu bentuk kebajikan yang pernah pejabat lakukan. Entah sekecil debu, seketika bisa meraksasa jadi gelombang opini, melumat kekuatan manapun yang hendak memutarbalik kenyataan. Ahmadinejad piawai mengelola harapan rakyat menjadi kekuatan perubahan. Dari negeri sendiri, kita belajar kisah segelintir tokoh pejabat (baca: pemimpin) yang berlaku sebagai pelayan rakyat. Ada Jokowi walikota Solo yang dicintai rakyatnya, sukses memindahkan (menggusur) pedagang kakilima tanpa melukai, tanpa adanya perlawanan. Atau adapula contoh dari Makassar, Daeng Patompo, sosok walikota legendaris yang dikenang warga Makassar, karena sukses meletakkan dasar pembangunan kota dan kreatif menawarkan terobosan. Misalnya dia berjasa memperluas wilayah kota yang tadinya sempit menjadi lebih luas dan lapang, menata ulang kota dan sebagainya. Dalam sebuah cerita, karena besarnya kepedulian pada kota, konon ketika Patompo sedang berkunjung ke Jakarta, di atas mobil yang sedang ditumpangi, Patompo tertidur mungkin karena kelelahan, tiba-tiba mobil tanpa sengaja menginjak lubang cukup besar di jalanan yang mengakibatkan mobil terguncang keras. Patompo bergerak refleks, terbangun dan berkata pada orang yang berada dalam mobil,”suruh kepala dinas PU segera menghadap, besok jalanan ini harus bagus”…. Patompo lupa bila sekarang sedang berada di Jakarta. Di awal kemerdekaan Indonesia, negeri kita dikaruniai Allah dengan limpahan kader pemimpin yang berkarakter dan sederhana. Ada Bung Karno, jika sekadar mengejar gemerlap harta dan gengsi, dia punya kekuatan pendukung; energik, terpelajar, cerdas, di usianya yang belia telah menyandang titel Insinyur sipil, yang memungkinkannya masuk dalam lingkaran elit kaum berpunya. Namun dia menempuh jalan berbeda; keluar masuk penjara, diasingkan ke pulau yang jauh, dibatasi geraknya oleh aparat kolonial Belanda, tetapi dia tak berubah, justru kian teguh memilih bergabung dengan massa rakyat yang tiada berdaya. Hal tersebut serupa dengan teladan dari Bung Hatta, bersih jujur yang bahkan karena laku hidup amat sederhana sehingga tak sanggup mengumpulkan uang hanya untuk membeli sepasang sepatu yang disukai sejak lama. Tepat kata Haji Agus Salim bahwa, “Memimpin Itu Menderita” sebuah ungkapan yang mengandung kegetiran hidup, kemuliaan dan pengabdian yang bersifat transendental. Kiranya Agus Salim adalah bukti. Sebagai tokoh yang berpengetahuan luas, menguasai sembilan bahasa asing, sesungguhnya membuatnya dapat menikmati kenyamanan materi jika memang mau, banyak jalan untuk itu, namun beliau lebih memilih jalan sunyi pengabdian, jalan dari mereka yang telah mewakafkan hidupnya bagi kemajuan orang banyak. Memimpin berarti menderita, sebentuk deklarasi insaniah, bahwa memimpin berarti juga proses memekarkan energi positif kebaikan untuk memuliakan kebaikan yang lebih agung lagi. Memelihara kehidupan sesama. Kampung halaman tercinta, Tanah Buton sesungguhnya kaya dengan sumber inspirasi, misalnya kisah tentang pejuang pendidikan Bapak La Ode Manarfa, yang ikhlas memilih jalan sunyi bergerak di dunia pendidikan, sebuah jalan yang tidak populer di masanya. Namun kehendak telah bulat untuk memajukan dunia pendidikan di tanah Sulawesi. Bagi kita generasi muda, beliau adalah sumber keteladanan yang bertutur tentang keluhuran budi pekerti anak manusia. Sebagai kaum terdidik, jebolan sarjana dari negeri Belanda, beliau terpanggil mengabdi pada kemanusiaan, mencerahkan pergaulan hidup masyarakat dan terjun mencerdaskan kehidupan bangsa dengan aktif mendidik dan mendirikan perguruan tinggi; mulai dari Universitas Hasanuddin, Universitas Haluoleo, Universitas Dayanu Ikhsanuddin dan masih banyak lagi kampus yang tak lepas dari sentuhan tangan beliau. Di tengah krisis keteladanan di masa sekarang, sosok Bapak La Ode Manarfa sebagai putera asli tanah Buton seyogyanya menjadi sumber pelajaran bagi ketulusan hati, sumber mata air kebajikan yang tak pernah kering bagi mereka yang berkenan mereguknya. Wallahu A’lam Bishawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar