Rabu, 14 Desember 2011

CINTA DAN SECANGKIR TEH



BY. NANI CAHYANI
Hari itu mendung, langit terlihat seperti bermuram durja diliputi kesedihan. Siklus Alam kadang-kadang terlihat seperti misteri. Tak dapat ditebak, dan tak dapat direka-reka. Saat wajah bumi terlihat gelap dan sedih, seketika hujanpun seperti ditumpahkan dari langit. Susul menyusul suara guntur menggelegar, petir menyambar terlihat seperti alam berbincang dengan caranya sendiri. Proses terjadinya kilat, guntur dan halilintar adalah cara langit memproses air hujan menjadi sangat steril. Sedikit complicated pandangan ini. Tapi toh benar adanya, alam punya cara sendiri untuk berekspresi terkadang merusak, itulah siklus alam bermetamorfosis. Seperti juga halnya kita butuh berbuat salah dulu untuk menjadi benar, beradu argumen dulu untuk bertemu pada satu kesepahaman, merangkak dulu baru tegap berdiri dan kemudian berdiam diri untuk merenungi pemaknaan diri yang hakiki.
Yaa, semua itu pikiran yang bergelayut dibenakku saat lagi berteduh dibawah sebuah kedai kecil dipinggiran kota Baubau. Kedai itu mungil dan sangat sederhana, seperti tak acuh oleh restauran-restauran yang agak angkuh disampingnya. Saat lagi berteduh dari hujan deras yang menghentikan aktifitasku kekampus untuk mengajar. Kedai sederhana ini adalah palace yang teramat megahnya, karena memberiku tempat berlindung serta kenyamanan. Didepan kedai ini ada dua buah kursi yang saling berhadapan. Sayapun duduk sambil sesekali menyeka wajahku yang terkena “drizzling” sebelum menjadi “heavy rain”.
Rintik hujan yang mengenai atap kedai itu nyaring bersahut-sahutan, mereka seperti bubles kecil, bergelinding-gelinding ibarat anak kecil yang berayun-ayun kegirangan. Mmmm bagiku nyanyian biduan suara alam ini sangatlah sempurna. drizzling itu seakan berdesau desau berbisik manja dan berceracau menjadi harmoni indah.
Walau awalnya gelap, tapi tetaplah syahdu. Bukannya gelap selalu bertemu dengan fajar akhirnya. Fajar setelahnya adalah mentari yang bercahaya tunggal dan lama. Cahayanya terkadang menyenangkan namun kadang kala menjemukkan saat teriknya menembus kulit.
Lamunanku tiba-tiba buyar oleh sapaan seseorang laki-laki yang terlihat berumur setengah baya dan wanita disampingnya nampak raut-raut wajahnya yang telah termakan sengit oleh masa. Dari dalam kedai, mereka menyapaku. “De’ mau kemana?. Sambil tersenyum simpul padaku?”. Akupun menjawabnya dengan menunjukkan rasa hormatku pada mereka, dan sambil sedikit tersenyum “mau kekampus pak?”. Keduanyapun seperti serempak bersuara “oh…. Mahasiswa Unidayan ya?”. Rasanya saya ingin menyembunyikan identitasku pada mereka, tapi pandangan mata mereka terlalu suci. Sayapun menjawab “ saya tenaga pengajar di Unidayan pak”. Pasangan ibu, bapak setengah baya itupun seperti terlihat surprised dan menimpali “Oh.. dosen ya?”. Dengan kikuk dan bingung sayapun menjawabnya “Alhamdulillah iya pak”. Jujur saya tidak menyalahkan pandangan mata mereka karena mungkin postur tubuhku yang rata-rata awam orang timur, sedikit narsis mungil hehehe ataupun mungkin karena memakai jeans berwarna hitam dan baju kemeja merah maron sedikit memanjang. Dipadukan dengan jilbab berwarna merah maron dan bercorak warna bunga yang merekah. Sempurnalah diriku terlihat seperti mahasiswa.
Hujan seperti tak berkompromi hari itu, saya seperti sudah ditakdirkan berada dikedai itu berlama-lama. Wanita setengah baya itupun keluar dan menyodorkanku secangkir teh panas, aroma teh itu wangi seperti memenuhi kepalaku. Mmmm sambil berkata “duh ibu tidak usah repot-repot, saya sudah berteduh dibuatkan teh pula”. Ibu itu pun menjawab dengan ketulusannya: “cuaca dingin de’. Secangkir teh ini akan menghangatkanmu”. Sayapun menjawabnya “terima kasih ibu”. Suami dari ibu berumur setengah baya itupun tak kalah serunya dari dalam kedai bersuara. “de’ awalnya bapak jatuh cinta sama isteri bapak karena secangkir tehnya”. Oh ya… Pak” bisa ceritakan, (sambil memperbaiki posisi dudukku dan siap mendengarnya). Saya sangat tertarik mendengarnya, karena yang berhubungan dengan cinta selalu menarik buat disimak.
Bapak itupun memulai ceritanya, “lima puluh dua tahun yang lalu di desaku, bapak bertandang kerumah seorang kawan. Saat lagi menunggu kawanku yang mengambil sekantong jambu mete yang sudah djanjikan padaku. Tiba-tiba ada wanita yang teramat sangat cantik membawakanku secangkir teh. Darahku seperti berhenti berdesir (sambil tertawa bapak itu bercerita, matanya menengadah seperti mengumpulkan pieces alur ceritanya). Wanita itu adalah adik kawanku, yang sekarang menjadi isteri bapak “gumamnya”. “Yaa mantan pacar bapaklah" (Sayapun ikut tertawa). Dan berucap, “terus pak?”. “Terus…..”, bapak itupun becerita lagi. Secangkir teh itu beraroma wangi dan seteguk dua tegukpun kureguk mmm rasanya khas dan lain sekali. Tahu tidak de’ kenapa rasanya lain. Sayapun dengan kebingungan menjawab “tidak pak?”. Begini de’ jawabannya singkat karena teh itu diseduh dengan ramuan hati dan cinta melebur serta menyatu didalamnya. Sambil menjelaskan bapak itu tersenyum. Mmmm jawaban yang sederhana sekali tapi meaningful. Kembali cerita bapak dilanjutkan lagi, “setiap pagi secangkir teh dari isteriku tersayang, membuatku semakin sayang padanya. Secangkir teh itu menemaniku setiap harinya”. Sambil tersenyum manja isteri bapak itu mengangguk.
Mmmm saya pun paham secangkir teh adalah symbol sayang, diantara keduanya. Cinta.., cinta.., cinta…, aneh memang dia datang dalam berbagai versi dan rupa. Bentuknya abstract dan untouchable. Sungguh weird.., setiap peradaban selalu diwarnai dengan kisah cinta, sebut saja, William Shakespeare dengan Romeo dan Julietnya , Taj mahal Prasti pahatan kemegahan cinta, Cinta tak bernalar seorang Adolf Hitler yang mati dibunker bersama kekasih hatinya, Cinta Ken Arok pada Ken Dedes yang teramat jelita, Cinta Syamsul Bahri pada Siti Nurbaya, dan cinta seorang Napoleon kepada Cleopatra. Sungguh cinta angkuh dengan semua definisinya, Kahlil Gibran menggambarkan cinta adalah “Flower that is only blossoms and grows without the aid of the seasons”. William Shakespeare mendefinisikan “Love is a Rose, Rose is A Love, Love is Rose”.
Sayapun coba menyimpulkan dengan bahasaku sendiri ‘cinta adalah masa yang berwarna, mewangi dan bertumbuh ditempat yang suci, yakni HATI. Angan dan asa menggapai samudera meluluh lantahkannya ketika cinta menyapa karang, menelusuri semua tepian wajah bumi, berlarian cahaya pelangi mengitarinya, tersilau mata oleh selarik cahaya menembus kalbu, merasuki jiwa yang lara merindu dikala hati berbaur dengan hasrat dan gairah limitlessly. Ahhh… definisi cintaku adalah puisi dan menuliskannya dalam goresan-goresan pieces waktu yang berkejaran.

Upss sayapun pamit pada pasangan separuh baya itu, dikarenakan hujan telah reda. Terima kasihku pada mereka yang telah menemaniku dengan cerita-ceritanya. Mmmm…. kedai itu, sungguh sederhana. Namun penuh dengan cinta tulus yang tak identik dengan nafsu. Secangkir teh adalah symbol cinta tulus keduanya. Ada banyak cerita-cerita lagi yang akan kudengarkan diperjalananku.., saya berterima kasih pada keduanya mau berbagi cerita kisah cinta dan secangkir teh.
Terima kasih teruntuk sahabat yang tak mau disebutkan namanya, sudah mengedit gambarnya.
Cerita ini berawal ketika berteduh dari lebatnya guyuran hujan.
Baubau, 14 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar